Berbicara Ketika Istinja’
[01] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apakah dimakruhkan berbicara ketika sedang istinja’?” Beliau menjawab, “Hal itu tidak dimakruhkan. Yang dimakruhkan adalah berbicara ketika sedang buang hajat. Dan yang lebih utama adalah hendaknya seorang insan meninggalkan pembicaraan yang tidak dibutuhkan pada saat auratnya tersingkap di tempat manapun ia berada.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/90])
Membakar Lembaran Mus-haf Yang Terpotong
[02] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Bolehkah membakar kertas-kertas lembaran mushaf yang telah tersobek/terpotong-potong?” Beliau menjawab, “Lembaran kertas dari Mushaf yang sudah terpotong-potong tidak mengapa dibakar; karena dengan membakarnya akan menjaganya supaya ia tidak dihinakan atau dibuang ke tanah. Dan yang lebih baik lagi -setelah dibakar- adalah memendam abunya di tempat yang bersih dalam rangka menambah pemuliaan terhadap Kalamullah.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/94])
Mengumandangkan Adzan Dalam Keadaan Junub
[03] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apakah diperbolehkan bagi orang yang sedang junub untuk adzan dan lewat di dalam masjid?” Beliau menjawab, “Boleh baginya untuk adzan, dan yang lebih utama adalah hendaknya dia tidak mengumandangkan adzan kecuali dalam keadaan suci dari hadats akbar maupun ashghar. Orang yang junub juga boleh melewati masjid, tapi dia tidak boleh tidur di dalamnya, duduk-duduk di sana, demikian pula dia tidak boleh membaca al-Qur’an.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/94])
Sholat Dalam Keadaan Junub Karena Lupa
[04] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apabila seseorang sholat dalam keadaan junub karena lupa, apakah dia harus mengulangi sholat?” Beliau menjawab, “Ya, dia harus mengulangi sholat dengan kesepakatan ulama. Berbeda kasusnya dengan orang yang sholat dalam keadaan ada najis yang menempel pada [tubuh atau pakaian] nya [karena lupa]. Maka dalam hal itu ada perbedaan pendapat. Pendapat yang populer adalah mengulangi sholat. Akan tetapi adalah tidak perlu mengulangi jika dia melakukannya tidak dalam keadaan mengetahui dan sengaja.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/104])
Membaca Ta’awudz Setiap Raka’at Sholat
[05] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apakah disyari’atkan isti’adzah/membaca ta’awudz pada setiap raka’at?” Beliau menjawab, “Isti’adzah tidak disyari’atkan kecuali pada raka’at pertama; karena bacaan untuk semua raka’at itu dihukumi seolah menjadi satu kesatuan rangkaian bacaan. Apabila dia sudah membaca ta’awudz pada raka’at pertama maka hal itu sudah mencukupkannya sehingga tidak perlu mengulanginya. Meskipun demikian, seandainya dia mengulangi hal itu juga tidak mengapa. Namun, jika dia mengulanginya maka letaknya adalah sebelum al-Fatihah, bukan sesudahnya.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/105])
Tahiyyatul Masjid Berulang Kali
[06] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum sholat tahiyyatul masjid bagi orang yang berulang-ulang masuk ke dalamnya?” Beliau menjawab, “Dianjurkan sholat tahiyyatul masjid -setiap kali masuk masjid, pent- meskipun dia berulang-ulang masuk ke dalamnya.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/116])
Antara Mendengarkan Kajian dan Membaca al-Qur’an
[07] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apakah yang lebih utama antara membaca al-Qur’an atau mendengarkan ilmu yang bermanfaat?” Beliau menjawab, “Mendengarkan ilmu yang bermanfaat atau dzikir/pelajaran maka itu lebih utama daripada seorang menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an atau mengerjakan sholat sunnah.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/117])
Hukum Sholat Berjama’ah
[08] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukum sholat berjama’ah?” Beliau menjawab, “Pendapat yang paling tepat dan itu merupakan pendapat yang populer dari madzhab [Imam Ahmad, pent] menyatakan bahwa sholat berjama’ah adalah fardhu ‘ain untuk sholat-sholat wajib [5 waktu] yaitu bagi kalangan lelaki yang mukallaf [yang telah terkena beban syari’at].” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/117])
Sholat Bermakmum Kepada Musafir
[09] Syaikh as-Sa’di rahimahullah pernah ditanya, “Apa yang harus dilakukan oleh seorang yang mukim [tidak sedang safar] apabila ia sholat di belakang musafir [bermakmum kepadanya, pent]?” Beliau menjawab, “Apabila seorang yang mukim sholat di belakang musafir dan si musafir meng-qashar sholatnya [4 menjadi 2, pent], maka sholatnya orang yang mukim tadi di belakangnya dinilai sah. Apabila si imam telah mengucapkan salam hendaklah makmum bangkit dan mengganti/melengkapi dua raka’at lagi [yang belum dikerjakannya, pent].” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [16/119])
Anak Kecil Menjadi Imam